Judul : Emak, Penuntunku dari Kampung Darat sampai Sorbonne
Penulis : Daoed Joesoef
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Tahun Terbit : 2010,Cetakan Ketiga
Jumlah Halaman :
292 halaman
ISBN : 978-979-709-486-7
![]() |
Sampul Depan |
Buku
ini terbagi dalam 23 bab yang isinya mengisahkan peran dan kegiatan yang
dimainkan oleh Emak, sosok ibu dari penulis.
Dus, semua judul bab hanya akan berkisar pada Emak dan segala sesuatu di
sekitarnya, mulai dengan pemikirannya, tindak tanduknya, sampai dengan keahlian
yang dimilikinya. Judul bab seperti “Emak dan Hutan”, “Emak dan Pendidikan”
“Emak dan Kemurnian Pluralisme”, Emak dan Seni Musik” dan judul lainnya selalu
menggunakan kata Emak. Hal ini menunjukkan bahwa posisi tokoh utama ini
ditujukan untuk Emak. Sedangkan tokoh lain adalah pewarna, penguat, dan pemanis
dalam cerita-cerita yang melibatkan si Emak.
Ceita
pada Bab-bab awal lebih didominasi oleh cerita masa kecil Daoed Josoef yang
merupakan anak ketiga dari Keluarga Josoef. Sebagai anak lelaki dengan dua
orang kakak perempuan, Daoed Josoef diceritakan selalu diimanja oleh kedua
kakak langsungnya. Cerita tentang keluar masuk hutan, kehidupan masyarakat di
masa kecil pada masa kolonial akan sangat kental diceritakan dengan bahasa
lugas dan menarik.
Emak
menempatkan pendidikan anak-anaknya sebagai prioritas. Emak tidak enggan untuk
melawan pandangan-pandangan sinis masyarakat sekitarnya diwujudkan dalam
aksi-aksi ganjil dan berani terkait pendidikan kehidupan bermasayarakat kala
itu. Diantaranya berani menyekolahkan Djosoef ke sekolah berbahasa belanda, dan
membeli sepeda angin yang kala itu identik dengan noni-noni belanda.
Pembahasan
lebih serius ketika tokoh Mas Singgih masuk dalam cerita. Dikisahkan Mas
Singgih merupakan pejuang asal jawa yang sedang mengamati kehidupan masayarat
Sumatra. Mas Singgih indekos di rumah. Keberadaan Mas Singgih sering memunculkan
perbincangan-perbincangan seru namun hangat terkait persiapan kemerdekaan
Indonesia. Kecermatan dan keluasan pandangan antara Emak dan Bapak serta
kecerdasan Mas Singgih ditampilkan dalam dialog-dialog dalam cerita. Kita
selaku pembaca akan diajak menyelami pandangan-pandangan mereka terkait bentuk
negara Indonesia yang ideal, gambaran kemerdekaan di negara lain, pandangan
tentang sekulerisme dan pluralisme, dan ketidaksetujuan Emak dan Bapak apabila
agama dalam wujut syariat islam dijadikan kedok untuk memperoleh kekuasaaan
melalui tangan-tangan partai.
Alur
cerita bisa dikatakan flash back/mundur,
penulis menceritakan masa lampau namun pada bagian tertentu akan diceritakan
masa sekarang. Alur ceritanya disesuaikan dengan tema yang diangkat per babnya,
sehingga kadang dihadapkan pada kondisi usia si Daoed sudah dewasa namun di bab
berikutnya akan menceritakan masa kecilnya kembali.
Ketika
membaca buku ini, saya berharap akan banyak menemukan inspirasi tentang pendidikan
di Sorbonne, namun ekspektasi saya kiranya tidak terkabul. Namun demikian, buku
ini tetap patut untuk dijadikan penambah koleksi. Beberapa pandangan Emak
kiranya akan menambah sudut pandangan kita terhadap permasalah yang terjadi pada masanya. Dapat
dicontohkan, pandangan dan pola pikir Emak pada halaman 73 yang mengisyaratkan
perhatian yang tinggi akan ilmu pengetahuan anak-anaknya kiranya menarik untuk
dikutip, “Kau Harus berlaku seperti
batang air ini. Walaupun ia tetap terus mengalir mencapai tujuannya, ia tidak
pernah memutuskan diri barang sedetik dari sumbernya, ia tetap setia padanya”.
Terhadap
buku ini, secara personal Saya memberi Enam dari Sepuluh Bintang.
:D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar