Sabtu, 12 Oktober 2013

- Resensi Buku - "Emak, Penuntunku dari Kampung Darat sampai Sorbonne"


Judul                    : Emak, Penuntunku dari Kampung Darat sampai Sorbonne
Penulis                 : Daoed Joesoef
Penerbit               : Penerbit Buku Kompas
Tahun Terbit        : 2010,Cetakan Ketiga
Jumlah Halaman : 292 halaman
ISBN                    : 978-979-709-486-7


Sampul Depan
           Emak, atau Mak merupakan istilah untuk Ibu; orang tua perempuan atau sebutan kepada orang perempuan yang patut disebut Ibu atau sepadan dengan Ibu. Penggunaan sebutan Emak ini umumnya sering digunakan pada masyarakat Sumatera yang sedikit banyak terpengaruh oleh budaya melayu.
Buku ini terbagi dalam 23 bab yang isinya mengisahkan peran dan kegiatan yang dimainkan oleh Emak, sosok ibu dari penulis.  Dus, semua judul bab hanya akan berkisar pada Emak dan segala sesuatu di sekitarnya, mulai dengan pemikirannya, tindak tanduknya, sampai dengan keahlian yang dimilikinya. Judul bab seperti “Emak dan Hutan”, “Emak dan Pendidikan” “Emak dan Kemurnian Pluralisme”, Emak dan Seni Musik” dan judul lainnya selalu menggunakan kata Emak. Hal ini menunjukkan bahwa posisi tokoh utama ini ditujukan untuk Emak. Sedangkan tokoh lain adalah pewarna, penguat, dan pemanis dalam cerita-cerita yang melibatkan si Emak.
Ceita pada Bab-bab awal lebih didominasi oleh cerita masa kecil Daoed Josoef yang merupakan anak ketiga dari Keluarga Josoef. Sebagai anak lelaki dengan dua orang kakak perempuan, Daoed Josoef diceritakan selalu diimanja oleh kedua kakak langsungnya. Cerita tentang keluar masuk hutan, kehidupan masyarakat di masa kecil pada masa kolonial akan sangat kental diceritakan dengan bahasa lugas dan menarik.
Emak menempatkan pendidikan anak-anaknya sebagai prioritas. Emak tidak enggan untuk melawan pandangan-pandangan sinis masyarakat sekitarnya diwujudkan dalam aksi-aksi ganjil dan berani terkait pendidikan kehidupan bermasayarakat kala itu. Diantaranya berani menyekolahkan Djosoef ke sekolah berbahasa belanda, dan membeli sepeda angin yang kala itu identik dengan noni-noni belanda.
Pembahasan lebih serius ketika tokoh Mas Singgih masuk dalam cerita. Dikisahkan Mas Singgih merupakan pejuang asal jawa yang sedang mengamati kehidupan masayarat Sumatra. Mas Singgih indekos di rumah. Keberadaan Mas Singgih sering memunculkan perbincangan-perbincangan seru namun hangat terkait persiapan kemerdekaan Indonesia. Kecermatan dan keluasan pandangan antara Emak dan Bapak serta kecerdasan Mas Singgih ditampilkan dalam dialog-dialog dalam cerita. Kita selaku pembaca akan diajak menyelami pandangan-pandangan mereka terkait bentuk negara Indonesia yang ideal, gambaran kemerdekaan di negara lain, pandangan tentang sekulerisme dan pluralisme, dan ketidaksetujuan Emak dan Bapak apabila agama dalam wujut syariat islam dijadikan kedok untuk memperoleh kekuasaaan melalui tangan-tangan partai.
Alur cerita bisa dikatakan flash back/mundur, penulis menceritakan masa lampau namun pada bagian tertentu akan diceritakan masa sekarang. Alur ceritanya disesuaikan dengan tema yang diangkat per babnya, sehingga kadang dihadapkan pada kondisi usia si Daoed sudah dewasa namun di bab berikutnya akan menceritakan masa kecilnya kembali.
Ketika membaca buku ini, saya berharap akan banyak menemukan inspirasi tentang pendidikan di Sorbonne, namun ekspektasi saya kiranya tidak terkabul. Namun demikian, buku ini tetap patut untuk dijadikan penambah koleksi. Beberapa pandangan Emak kiranya akan menambah sudut pandangan kita terhadap permasalah yang terjadi pada masanya. Dapat dicontohkan, pandangan dan pola pikir Emak pada halaman 73 yang mengisyaratkan perhatian yang tinggi akan ilmu pengetahuan anak-anaknya kiranya menarik untuk dikutip, “Kau Harus berlaku seperti batang air ini. Walaupun ia tetap terus mengalir mencapai tujuannya, ia tidak pernah memutuskan diri barang sedetik dari sumbernya, ia tetap setia padanya”.

Terhadap buku ini, secara personal Saya memberi Enam dari Sepuluh Bintang.
:D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar